Homesick?
Jika aku harus berterimakasih, untuk hal apa lagi yang lebih
pantas, selain untuk 3 orang tua ku yang tersayang?
Nomor satu adalah papa. Seperti kata Andrea Hirata tentang
ayahnya, “Ayahku, ayah juara satu di seluruh dunia.” Papa merupakan sosok
terpenting dalam hidupku. Pahit manis telah kurasakan bersama papa. Aku pernah
membenci papa, lalu menyayanginya seumur hidupku. 80% kepribadianku adalah
papa. Papa adalah role modelku, baik untuk menjadi manusia yang baik, apoteker
yang baik, pebisnis yang baik, dan pemimpin yang baik.
Papaku orang yang kikuk dalam menyampaikan perasaannya.
Sehingga kami mengungkapkan rasa sayang dengan menjadikannya lelucon. Meski demikian, papaku sangat hebat bila mengungkapkan
sesuatu dalam tulisan. Aku bertaruh, surat cinta untuk mamaku dulu pastilah
merupakan surat yang tidak terlupakan . Dan sepertinya, keahlian dan sikap
kikuknya juga menurun padaku, Sudah kubilang kan?
Papa mendidikku dengan keras. Dalam pola pikir orang-orangku,
didikan yang keras adalah didikan kayu dan rotan. Tidak, papaku tidak seperti
itu. Mungkin karena aku adalah anak satu-satunya (dulu),jadi dia tak sampai
hati memukulku. Ah.. tapi aku pun bukan tipe anak pemberontak dan suka membuat
orang tua naik darah. Hahaha.
Papa memukulku dengan kata-kata. Kata-katanya saat marah
seperti es yang tajam, menikam dan membekukan. Bahkan, ketika ia sedang marah,
aku akan terpaku, tak bisa menggerakan ujung jari pun. Aku bahkan pernah
dimarahi dalam keadaan jongkok saat mencari sepatu, dan aku terus berada dalam
posisi seperti itu selama 20 menit. Ini serius. Jangan tanya kenapa aku bisa
dimarahi saat mencari sepatu, aku sendiri lupa apa alasannya. Mungkin tentang
kegaduhanku di pagi hari, mungkin tentang buruknya persiapanku sebelum
berangkat ke sekolah, mungkin juga hal lain…
Ah, ya. Tadi kubilang 3 orang tua kan?
Kau tidak salah lihat, dan aku pun tak salah menulis.
Nomor satu adalah papa, dua lainnya adalah mama, tentu saja.
Aku punya dua mama.
Yang pertama, mama kandungku, mantan istri papaku. Mama dan papa bepisah saat usiaku 10 tahun.
Orang-orang sering bertanya, “Apakah waktu itu kamu sedih?”. Jawabnnya, tentu
saja iya! Waktu itu aku masih bocah, dan hanya memikirkan diriku sendiri.
Seringkali saat dalam perjalanan pulang sekolah, aku berharap di rumah akan ada
kejutan untukku, mengatakan kalau itu semua cuma lelucon. Tetapi, tumah selal
umenyambutku dengan keheningan. Rumahku selalu kosong. Selalu begtiu, sampai
suatu hari aku sadar akan keadannya dan berhenti berharap. Waktu itu, aku masih
berada di kelas 5 SD. Seiring bertambahnya usia, aku malah berbalik menjadi
bersyukur akan kejadian itu. Hahaha
Mama dan papaku seperti yin dan yang, sangat berkebalikan.
Mamaku adalah tipe orang yang ceria, hangat, dan terbuka. Mamaku dapat
menyampaikan perasaannya dengan mudah. Bisa kubayangkan, di masa mudanya mamaku
adalah gadis populer yang selalu dikelilingi banyak orang. Papaku seperti
cahaya bulan, dan mamaku seperti matahari (er.. tolong kesampingkan fakta bahwa
cahaya bulan merupakan pantulan dari cahaya matahari, bukan seperti itu
maksudku).
Mama adalah role modelku juga. Dari mama aku belajar
bagaimana menjadi wanita yang kuat, juga bagaimana menjadi apoteker yang sibuk
tetapi selalu tampil maksimal dan cantik. Haha
Mamaku adalah wanita mandiri yang benar-benar bisa melakukan
apapun sendiri. Dalam pekerjaan apapun, mamaku selalu bersinar. Mama selalu
tampil percaya diri.
Mama dan papaku adalah dua pribadi yang berbanding terbalik,
tetapi begitu mirip. Kompetensi mereka sangat sulit untuk dibandingkan. Mereka
pintar, mereka pekerja keras, dan yang paling penting, mereka sukses. Karena
hal itu juga aku begitu mengagumi
mereka. Sepertinya, melampaui mereka merupakan misi hidupku yang tersulit. Oh
ya, papa dan mamaku juga sama-sama workaholic.. untuk hal ini, sepertinya
berbeda jauh denganku. Haha. Kita lihat saja nanti :)
Aku memiliki satu lagi sosok yang kupanggil “mama”. Dia
adalah istri papaku yang sekarang. Aku lupa, kapan aku dan mamaku yang satu ini
menjadi sangat dekat. Mama yang ini seperti sahabatku, yang selalu siap
mendengar cerita bahagia dan kesedihanku. Mungkin karena mamku masih muda,
sehingga kami memiliki topik obrolan yang sama. Mamaku ini sangat suka jika
dipanggil pelanggan dengan sebutan “nona”,
karena hal itu mengindikasikan bahwa penampilannya masih terlihat muda,
Hahaha. Tapi kadang-kadang dia kesal juga, karena sering dikira bukan pemilik
toko. Mungkin pemilik toko yang dibayangkan adalah ibu-ibu yang lebih berumur.
Oh ya, mamaku yang ini juga memiliki latar belakang pendidikan farmasi -_-
Ketika aku bercerita mengenai “mama”, teman-temanku akan
bertanya sambil bergurau “mama yang mana ya?”, karena aku memang memiliki dua
mama, haha
Dulu, waktu masih tinggal di kota kecil yang terletak di pesisir
itu, aku selalu menunggu kelulusanku, menunggu perginya aku dari kota itu,
pergi ke kota besar, kuliah, dan menjalani kehidupanku seorang diri. Karena
keadaan keluargaku, aku merasa seperti pion yang tidak hitam dan tidak putih,
dan aku benci dianggap sebagai bagian dari salah satu kubu. Aku bukanlah bagian
dari kubu siapapun, aku memiliki warna sendiri, dan aku tidak akan bisa
menemukannya jika mereka terus memperlakukan aku seperti ini, kira-kira
begitulah pikirku. Waktu itu pun aku masih anak-anak, meski sudah duduk di
bangku SMA.
Dan sekarang, aku malu pada diriku sendiri, yang berada
disini sendirian dan malah merindukan mereka.
Apa sekarang keinginanku terpenuhi?
Apa aku sudah menemukan warnaku sendiri?
Apakah kemampuanku telah maju selangkah lebih mendekati
mereka?
Orang tua ku tersayang, yang lebih berharga dari hidupku
sendiri. Aku selalu berharap, mereka sehat dan bahagia selalu.
Ternyata, aku juga bisa merasakan homesick.
ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
BalasHapusEvery word that you have written are look like a tears...
But, its became beautiful (as your name) when you have finished to share it...
That's an amazing missing story that i've read...