One Sided
Kamis, 26 Maret 2020
2:12 AM
Manusia itu makhluk sosial.
Manusia tidak bisa hidup tanpa sesamanya. Manusia adalah serigala bagi
sesamanya. Manusia adalah kawan bagi sesamanya. Semua frase tentang manusia sering
sekali kutemukan. Di sekolah, di buku, di internet, di banyak tempat. Namun,
sampai sekarang, aku sendiri masih mempertanyakan makna dari hubungan manusia
dengan manusia lain. Atau harus kukatakan, hubungan antara aku dengan orang
lain.
Aku bukanlah orang
istimewa. Aku hanyalah orang biasa yang berpapasan denganmu setiap hari. Memiliki
kehidupan yang biasa. Bangun dan tidur dengan biasa. Aku bukan si populer yang
ada di setiap perkumpulan. Aku tidak seperiang itu. Aku bukan juga gadis penyendiri
yang kau temui di sudut sekolah. Aku memiliki orang-orang yang mengenalku. Bahkan
terkadang, orang lain menilaiku sebagai orang yang mudah bersosial dan memiliki
banyak relasi.
Setiap kali mendengar
itu, aku sangsi dengan diriku sendiri.
Aku adalah manusia dengan
rancangan otak (atau jiwa?) yang membuatku selalu merasa bahwa keberadaanku
tidaklah penting. Aku tidak pernah memikirkan, bahwa aku adalah nomor satu di
hidup orang lain. Bahkan di hidupku sendiri, aku yakin bahwa peranku hanyalah
peran figuran, yang tidak perlu diperhatikan orang. Aku tidak tau sejak kapan
tepatnya semua menjadi seperti ini.
Selama sekolah, aku
adalah anak biasa yang juga menjadi anggota dari kelompok pertemanan tertentu.
Meski begitu, aku tetap berteman dengan semua orang. Kenalanku banyak. Tetapi,
sangat sulit rasanya untuk menjadi akrab. Bahkan ketika akrab, aku selalu
merasa pertemananku bertepuk sebelah tangan. Mereka adalah sahabatku, tetapi meski
aku bukan sahabat mereka, itu tidak apa-apa. Itulah yang selalu kupikirkan. Aku
mencoba untuk selalu membantu orang lain dan mendengarkan keluh kesah mereka. Itu
semua kulakukan sengan senang hati. Karena mereka temanku, dan aku tidak ingin
melihat mereka bersusah hati. Kesedihan mereka adalah kesedihanku juga. Orang-orang
seusiaku sering berujar, kenapa teman hanya mencari kita di saat mereka
susah. Sampai saat ini, aku tidak bisa mengerti akan hal itu. Bukankah
teman seharusnya menjadi yang paling diandalkan saat kita susah…?
Jika teman mencariku di
saat mereka kesusahan, aku akan merasa tersentuh dan akan mencoba mencarikan
jalan keluar sebisaku.
Baru-baru ini, aku
mengobrol dengan seorang teman lama. Dia sempat mengatakan, bahwa teman
sejatinya sejauh ini hanya berjumlah dua orang. Aku, yang kebingungan ini lalu
bertanya. Teman sejati itu, teman yang seperti apa? Dia menjawab, teman yang
bisa diajak berbagi.
Saat itu aku sadar bahwa…
sepertinya aku tidak punya sama sekali.
Sangat sulit bagiku untuk
menceritakan sesuatu tentang hidupku. Hidupku tidaklah penting… hidupku adalah
hidup yang terlalu biasa untuk diceritakan. Masalah hidupku bukanlah masalah berat, karena
sejauh ini aku masih selamat, bahkan tetap dengan lancar menjalani hidupku secara
biasa saja.
Aku selalu merasa, aku
ditakdirkan untuk hidup sendirian. Aku bukanlah siapa-siapa. Aku bertanggung
jawab atas hidupku sendiri. Aku tidak layak membebani orang lain dengan
masalahku. Jika terjadi apa-apa dengan hidupku, itu semua adalah salahku, bukan
salah orang lain.
Di usia sepuluh tahun,
orangtuaku bercerai. Saat itu, aku merasa sedih, tentu saja. Aku bahkan berharap
itu semua hanya bercanda, bahwa mereka bersekongkol untuk mengerjaiku. Tetapi aku
segera sadar bahwa itu benar-benar terjadi. Aku tetap menjalani hidupku seperti
biasa. Pergi ke sekolah, belajar, bermain. Aku merasa tidak pantas untuk
bersedih. Saat itu aku berpikir... orang tuaku sudah saling mengenal, jauh sebelum
mereka mengenal aku. Banyak hal sulit yang mereka lewati bersama. Di kehidupan
mereka, aku hanyalah orang baru yang tidak tau apa-apa. Kesedihan yang aku
alami tentu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kenangan yang harus mereka
lepaskan. Jika aku tidak menjalani hidupku seperti biasa atau menjadi baik-baik
saja, maka situasi akan menjadi lebih sulit untuk mereka, dan aku tidak ingin
mereka menjadi semakin sedih. Sejak saat itu, tanpa sadar aku telah menjalani
hidupku dengan biasa saja.
Cita-citaku sederhana.
Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan baik dan tidak merugikan orang lain.
Setiap hari, aku berusaha
bertahan hidup dengan mengingat orangtuaku. Aku ingin menjadi anak yang
bertanggung jawab dan tidak merepotkan…
Bahkan itu masih belum
bisa kucapai.
Selama bertahun-tahun,
aku menjalani hidupku secara biasa dan percaya bahwa aku bukanlah siapa-siapa.
Aku hidup hanya untuk melaksanakan kewajibanku. Aku hidup dengan keyakinan
bahwa pada akhirnya, yang kumiliki adalah diriku sendiri.
Tetapi aku tidak
kesepian.
Aku mencoba untuk tidak
kesepian. Aku melakukan apa yang selalu kulakukan: menerima bahwa begitulah
kenyataannya.
Namun, akhir-akhir ini
banyak hal baik yang terjadi padaku.
Seorang teman lama baru
saja membuatkan tulisan yang ditujukan khusus untuk diriku. Banyak sekali
hal-hal kecil tentang diriku yang kukira tidak disadari orang, ternyata masih
diingat olehnya.
Seorang teman kampus yang
sering menanyakan materi kuliah, tiba-tiba memberikan surat permintaan maaf…
yang menyatakan betapa malunya dia karena tidak bisa membantuku di saat sulit,
seperti apa yang selalu kulakukan untuknya.
Dua hal kecil itu
membuatku merasa sangat tersentuh, sedih, dan menyesal.
Aku yang selalu berpikir
aku bukan siapa-siapa, tentu menyakiti hati orang-orang yang memperhatikan aku.
Aku memang egois… bahkan ketika aku mencoba untuk tidak menjadi egois.
Aku memang egois… bahkan ketika aku mencoba untuk tidak menjadi egois.
Aku ingin percaya bahwa
keberadaanku tidak seperti gelembung sabun yang mudah hilang dan terlupa.
Aku ingin percaya bahwa aku
juga penting.
Apakah tidak apa-apa,
jika aku berhenti berpikir bahwa aku bukan siapa-siapa?
Komentar
Posting Komentar