Kaum Yang Putus Asa
Akhir-akhir
ini saya sering dibuat kesal. Kesal karena hal-hal kecil, terutama ketika sedang
menggunakan social media. Benda ini membuat kita bisa melihat tingkah
laku orang yang ada-ada saja dari seluruh penjuru negeri… dan anehnya itu
membuat saya kesal, padahal itu bukan urusan saya, hahaha. Bisa jadi ini adalah
efek dari kekosongan beberapa bulan ini, karena pandemi, dan kebetulan saya
juga sedang menunggu kegiatan berikutnya. Mungkin karena sudah bosan merasa
biasa-biasa saja, otak saya jadi berpikir “sudahlah, emosi apa pun boleh, aku
rindu merasakan emosiiiii”, dan voila, saya jadi sensitif terhadap
kelakuan orang yang bahkan saya tidak kenal mereka siapa…
Saya
adalah tipe orang yang jadi suka mengkritik ketika kesal. Seolah-seolah
semuanya salah, dan saya jadi frustasi kenapa keadaannya bisa jadi begitu, dan
kenapa orang-orang tidak berpikir begini. Bukan sifat yang baik, sih… tetapi sudahlah,
saya terlalu bosan. Tenang saja, saya masih lumayan waras untuk tidak mengritik
orang lain yang saya sendiri tidak tahu-menahu tentang hidupnya…
Oleh
karena itu… di sini saya ingin mengeluh sedikit tentang hal yang masih ada
kaitannya dengan saya, dan bikin saya kesal karena baru-baru ini saya lihat di
internet… yaitu…
Anak
Farmasi demo online.
[tulisan
di bawah ini dapat mengandung opini yang bias serta kata-kata yang menyinggung]
Anak
Farmasi demo…? Sumpah, saya tidak tau apa yang bisa lebih aneh dari itu. Oh
iya, saya juga mahasiswa Farmasi… jadi saya rasa saya masih sedikit berhak beropini
tentang kehidupan di lingkungan Farmasi… hehe.
Klarifikasi
dulu. Meskipun yang saya tuangkan dalam tulisan ini kemungkinan termasuk unpopular
opinion, bahkan dapat dikategorikan sebagai opini yang berpandangan sempit,
dan hanya mengkritik membabi buta, tetapi sejujurnya saya menikmati hidup
sebagai mahasiswa Farmasi dan bangga karenanya. Karena saya bangga, sepertinya
tidak salah jika saya menganggap ilmu Farmasi adalah rumpun ilmu yang spesial. Tidak
seperti cabang ilmu kesehatan lain, Farmasi punya prospek – dan lebih dari itu –
kebermanfaatan di area yang sangat luas,
mulai dari pemerintahan, produksi, distribusi, dan pelayanan akhir ke
pasien. Saya yakin, bukan cuma saya saja anak farmasi yang berpikir seperti itu.
TETAPI,
Sejak
awal saya masuk ke lingkungan pendidikan Farmasi, bergaul dengan teman-teman, dosen,
dan mulai mengetahui sedikit demi sedikit mengenai Farmasi… dalam benak saya selalu
ada pertanyaan ini,
“Mengapa
orang Farmasi sangat haus akan pengakuan?”
Awalnya
saya merasa saya paham… karena semua orang, semua profesi tentu ingin dihargai
atas kerja keras mereka. Sedangkan, farmasis/apoteker di Indonesia seperti
tenggelam keberadaannya. Bukan profesi populer untuk dijadikan cita-cita anak
SD. Masyarakat juga kebanyakan belum mengetahui tugas seorang apoteker di lini
kesehatan itu seperti apa… Oleh karena itu saya berpikir saya sangat paham,
mengapa orang berjuang untuk pengakuan itu… Saya hanya perlu rajin belajar…
agar bisa menjadi apoteker yang baik, seperti dosen-dosen saya. Semua anak Farmasi
tentu berpikir sama dengan saya…
Oh,
tidak…
Lama
kelamaan, orang-orang di sekitar saya semakin agresif untuk sebuah pengakuan
itu. Desperate.
Dan
lama-kelamaan, saya menjadi muak dengan semuanya… muak dengan anak Farmasi…
muak dengan semua narasi yang mereka keluarkan untuk sebuah pengakuan… Saya
bingung… dan sewaktu-waktu saya dapat merasa bahwa mahasiswa Farmasi hanyalah sekumpulan
orang dengan traits yang tidak saya sukai.
Sejauh
ini, terdapat beberapa peristiwa yang secara signifikan membuat saya menjadi
ingat terhadap rasa muak itu (urutan secara kronologis, dimulai dari awal tahun
2020):
1.
Perubahan letak gelar menjadi di depan.
Sebelumnya,
tata letak gelar untuk seorang apoteker adalah di belakang nama. Misalnya, si Budi
lulus dari fakultas Farmasi dan telah menempuh pendidikan apoteker, maka gelar si
Budi adalah “Budi, S.Farm., Apt.” … Seperti itu. Nah, di tahun 2020, muncul peraturan
baru bahwa gelar profesi dituliskan di depan. Jadi, sekarang nama si Budi berubah
menjadi “apt. Budi, S.Farm”.
Perubahan
ini disambut baik oleh masyarakat kefarmasian. Saya melihat di social media,
banyak mahasiswa yang memberi komentar penuh syukur seperti “hore” dan “wah,
akhirnya”, tapi bagi saya pribadi, perubahan ini adalah hal yang sangat
menggelikan… Ironisnya, justru respon positif orang-oranglah yang membuat hal
ini menjadi semakin menggelikan.
Kenapa
saya bisa berpikir seperti itu?
Saya
kembalikan lagi pertanyaan itu… “Kenapa orang-orang bisa sesenang itu?”.
Perubahan
tata letak gelar tidak akan berpengaruh apa-apa pada performa kerja seorang
apoteker. Tidakkah pengakuan diperoleh dari kerja keras dan tingkat kehadiran
kita selama melayani…? Kehadiran dalam konteks ini bukanlah “sosok” kita yang
sedang berdiri di situ… tetapi tingkat kontribusi kita terhadap kesehatan pasien…
terhadap kualitas obat… dan kualitas pelayanan. Selama kita masih setengah-setengah
dalam bekerja, tentu tidak akan memperoleh pengakuan yang kita inginkan.
Memperoleh pengakuan itu bukan hal yang mudah. Tanpa performa, masyarakat tidak
akan mau tahu tentang 3 huruf di depan nama kita. Opini saya ini dapat dengan
mudah dibantah dengan argumen mengenai prestasi simbolik…, tetapi apa artinya simbol
jika simbol tersebut diperoleh sebelum ada perubahan positif yang masif dari
kinerja kita sendiri? Jangan salahkan masyarakat yang tidak tahu apa-apa,
padahal selama ini apoteker tidak pernah ada di apotek....
Oh
ya… dan jangan bilang siapa-siapa ya. Janji ya? Ini rahasia umum sih. Tetapi
saya akan mengatakannya sekarang: apoteker itu pada dasarnya punya inferiority complex
yang fundamental dan terstruktur terhadap profesi lain yang sudah stabil lebih
dulu lho… (ehem-ehem, maksudnya dokter… jika anda menjawab tidak… maka anda
bohong…). Sehingga…. ya… betul sekali… dengan adanya peletakan gelar ini, maka
apoteker memiliki kesamaan tata nama dengan dokter dan jangan bohong kalau itu
adalah faktor yang – memang sepele – tetapi sempat membuat anda semua kegirangan.
Oleh
karena itu, bagi saya perubahan letak gelar ini tidak ada esensinya dan hanyalah
bentuk keputusasaan profesi apoteker terhadap pengakuan…
2.
Farmasi dikeluarkan dari layanan medik
Pada
awal tahun 2020, Menteri Kesehatan RI dr. Terawan Agus Putranto mengeluarkan
peraturan menteri mengenai Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit (PMK No. 3
tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit). Dalam peraturan
tersebut, disebutkan bahwa layanan Farmasi masuk dalam layanan non-medik rumah
sakit… dengan kata lain, layanan Farmasi tidak lagi tergolong sebagai layanan
medik. Tentu saja hal ini membuat segenap tenaga Farmasi gempar. Saya sendiri
terheran-heran. Bahkan, Fakultas Farmasi kampus saya secara resmi membuat
pernyataan yang mengkritik peraturan tersebut. Karena respon yang muncul kurang
menyenangkan, maka beberapa waktu kemudian dirilislah klarifikasi Menteri
Kesehatan terhadap beberapa kontroversi dalam peraturan tersebut. Dikatakan
bahwa, pengelompokan layanan medik dan non medik kali ini dilakukan berdasarkan
beban kerja dan frekuensi bertemu pasien. Setelah saya mendengar berita
tersebut, saya dapat sedikit memahami pengelompokan tadi. Rekan-rekan yang lain
malah semakin kesal… tapi bagaimana ya?
Saya
paham, rekan-rekan Farmasi yang harga dirinya sangat tinggi ini tentu saja
kesal, dibilang seperti itu. Tapi kenyataannya… Farmasi memang lebih sering ada
di balik kaca instalasi Farmasi, jarang sekali berinteraksi dengan pasien. Kita
memang diajari dengan idealisme bahwa Farmasi “seharusnya” ikut menjadi garda
terdepan dalam mendampingi pasien. Tapi apakah sekarang sudah seperti itu? Kesal
boleh… tapi kenapa sulit sekali menerima kenyataan bahwa masih banyak yang
perlu dibenahi dari layanan Farmasi rumah sakit. Kenapa sulit sekali untuk
mengoreksi diri. Tidak perlu mengambil contoh rumah sakit top yang pelayanannya
secara umum sudah bagus tidak terkecuali pelayanan Farmasi… Memang benar bahwa
apoteker-apoteker hebat berkumpul di sana… tetapi jumlahnya mungkin kurang
lebih hanya 10% dari ratusan rumah sakit yang ada di Indonesia… Kesal sih boleh…
tetapi ingat… ada alasannya kenapa menteri (dan masyarakat) bisa berpikir seperti
itu…
Oh
ya… yang saya sesalkan juga: mayoritas farmasis yang memprotes peraturan ini
selalu membawa-bawa tukang laundry… alasannya karena dalam peraturan tersebut
layanan non medik adalah termasuk layanan laundry. Jadi saudara-saudara kita
farmasis yang terhormat merasa tidak terima… dan selalu membuat narasi seperti “kuliah
susah-susah malah disamakan dengan tukang laundry”.
Arogan
luar biasa. Saya malu… salahnya tukang laundry apa coba? padahal tukang laundry
juga berkontribusi terhadap kelangsungan pelayanan rumah sakit setiap harinya…
Jangan minta dihargai kalau tidak bisa menghargai 😊
3.
Penghapusan RUU Kefarmasian dari prolegnas
Nah…
ini yang paling baru nih… sampai ada demo onlinenya segala. Jadi, RUU
Kefarmasian ini sudah lama dicanangkan (Sempat ada demonya juga), tetapi baru
tahun ini masuk ke prolegnas. Namun, pada bulan Juli 2020 DPR RI menghapus Sebagian
besar RUU, termasuk RUU Kefarmasian. Terus nasibnya RUU yang dihapus dari
prolegnas bagaimana? Ya pembahasannya ditunda… minimal sampai dengan prolegnas
tahun selanjutnya. Peristiwa ini tentu saja membuat rekan-rekan famasi yang
terhormat menjadi gusar… Sampai ada demo online… dan sempat berhasil jadi trending
topic #1 … (jujur, malu melihatnya). Saya mungkin dapat digolongkan sebagai
mahasiswa yang pasif, tapi tidak apa-apa. Hal itu disebabkan karena saya lebih
sering skeptis tentang demo… apalagi demo mahasiswa yang membawa isu peraturan
pemerintah. Saya ragu, apakah mahasiswa yang demo itu sudah membaca dan meriset
mengenai isu yang mereka bawa dalam aksi. Minimal membaca draft rancangan
undang-undang, lah. Saya yakin, pasti ada yang sudah, tetapi minoritas. Sisanya
cuma latah. Tapi ya… apa boleh buat? Massa yang melakukan aksi tidak perlu tahu
mengapa mereka berjuang. Mereka hanya alat untuk mewujudkan keinginan sosok
intelektual, jadi selama mereka berjalan di jalur yang sama dengan segelintir orang
yang tahu maksud dari aksi tersebut, ya tidak masalah. Begitu juga dengan demo
online anak farmasi baru-baru ini. Tapi dalam kasus ini yang demo anak farmasi,
tentang peraturan farmasi lagi. Memalukan jika tidak baca-baca dulu sebelum
bersuara.
Farmasi/Apoteker
memang belum memiliki payung hukum sendiri dalam melaksanakan praktek kerjanya.
Tetapi aksi ini sepertinya tidak punya impact lain selain menjadi pengingat
kecil bahwa “jangan lupa ya bahas RUU yang ini hehe”.
Dalam
kondisi negara yang tidak stabil karena pandemi, wajar jika pemerintah
mengeliminasi beberapa rancangan undang-undang agar lebih fokus membahas
peraturan yang dapat langsung diterapkan untuk pemulihan kondisi negara. Selain
itu, RUU Kefarmasian adalah peraturan yang berlaku terhadap sekelompok orang
saja (Farmasis), tidak diterapkan secara umum kepada seluruh rakyat Indonesia…
Mengenai
apakah ini akan berpengaruh terhadap kualitas pengawasan terhadap obat dan
makanan, saya rasa tidak juga… karena masih dapat digunakan peraturan dari
sumber hukum yang lain seperti PMK mengenai standar pelayanan kefarmasian. Hal
ini terutama karena RUU Kefarmasian yang didaftarkan adalah berupa omnibus law…
Sehingga sebetulnya sudah banyak peraturan yang mirip tetapi berada di sumber
yang berbeda-beda, mulai dri UU Kesehatan sebelumnya, PMK, dan peraturan dri
asosiasi profesi… Karena itulah, pembahasan mengenai RUU itu dianggap masih
dapat ditunda… sehingga sepertinya kita memang masih harus bersabar. Tapi…
bukan farmasi Namanya kalo tidak ingin cepat-cepat diakui. H3h3..
Masih banyak
hal-hal kecil lainnya yang membuat saya risih dengan profesi ini… (padahal saya
belum punya gelar profesi haha).
Sekali lagi, saya
bangga sebagai farmasis dan sudah seharusnya kita semua merasa seperti itu.
Saya yakin, kontribusi farmasi terhadap dunia kesehatan sebetulnya sangat besar.
Tidak perlu saya jelaskan di proses mana saja (dari penemuan obat sampai dengan
obat digunakan oleh masyarakat) seorang apoteker berperan, kita semua pasti
sudah tau. Hebat bukan? Tetapi kenapa kita masih saja tidak percaya diri dengan
potensi dan pengetahuan kita…?
Kenapa kita selalu
membanding-bandingkan diri kita dengan profesi lain… padahal sebenarnya tidak
perlu. Jika kita berusaha untuk lebih kompeten dan lebih berkontribusi, tentu kita
akan diakui tanpa diminta.
Saya
memang cuma mahasiswa, yang baru mengenal farmasi dari kulitnya saja…
banyak hal yang belum saya ketahui…
Saya
selalu percaya, seseorang dengan pengetahuan dan pengalaman yang lebih dapat melihat
hal-hal kecil di balik hal yang besar dan dapat melihat hal besar dari sebuah
hal yang kecil. Sedangkan saya belum memenuhi dua syarat itu. Anggaplah tulisan
ini dokumentasi dari evolusi pemikiran saya…
Mungkin nanti ketika saya sudah lebih bijak, saya akan Kembali ke sini dan menertawakan
tulisan ini…
Untuk saat ini, sampai di sini dulu mengeluhnya
I.G
(FF USD 2016)
Komentar
Posting Komentar