Aku dan Kecemasan
Kamis, 21 Februari 2020
1:17 AM
Aku adalah tipe orang
yang risih ketika mendengar masalah pribadi orang lain. Aku memang orang yang egois,
tetapi jangan salah paham, aku bukan orang yang tidak memiliki empati. Aku
bersedia mendengarkan keluh kesahmu.. tergantung siapa “kau” yang sedang
berbicara kepadaku. Teman dekatku sering bilang, empati yang kumiliki adalah
empati yang pilih kasih. Tapi.. begitulah aku. Aku sering menemukan orang yang dapat
dengan mudah menceritakan dirinya kepada orang lain.. dengan lawan bicara yang
merasa biasa saja, dan aku bukanlah keduanya. Aku adalah manusia yang
menghindar, sambal bergumam “siapa yang mau tau tentang itu?” Ketika ada orang
baru membicarakan tentang dirinya, atau, secara lebih spesifik,
membicarakan segala jenis masalah yang ada dalam hidup serta masa lalunya.
Selain egois, aku juga
adalah seorang penggerutu. Yeah... terkadang seperti itu. Sering muncul suatu
hari dimana aku mengeluh tentang segalanya, mulai dari diriku sendiri yang
bangun lebih lambat lima belas menit, ramalan cuaca di ponsel yang mengatakan bahwa
hari ini akan cerah (aku benci matahari), kacamataku yang gagangnya mulai longgar,
interface laptop yang mode gelapnya kurang gelap… apa pun. Memang, jika dibuat
daftar, sepertinya akan lebih banyak hal yang ku benci daripada hal yang kusukai.
Atau, apakah semua manusia seperti itu? Aku tidak tau. Aku kira normalnya
adalah seperti itu. Tetapi jika ada seseorang yang berbeda, orang itu adalah
orang yang beruntung; pastilah sangat mudah untuknya untuk merasa bahagia. Ah…
aku mulai bersikap sok tau. Dan saat ini, aku mengeluh tentang diriku yang sok
tau.
Terkadang ada saatnya
ketika orang sangat sulit merasa bahagia. Bahkan merasa takut dengan bahagia.
Aku pernah mengalaminya. Bukan hanya takut kepada bahagia, tetapi takut
pada semua jenis emosi. Semua jenis benda. Semua jenis dimensi. Segala jenis
hal yang jelas dan yang abstrak. Aku tidak mengerti, apa yang sebenarnya
kutakutkan.
Tapi, tunggu.
Sesungguhnya aku tidak nyaman membicarakan hal ini, karena aku merasa ini
adalah masalah pribadiku, semua orang tidak ada hubungannya dengan hal ini. Aku
juga tidak ingin dianggap pengeluh, seperti apa yang selalu melekat pada profil
diriku. Tetapi, untuk kesehatan pikiranku (memangnya aku sakit?), aku akan
berasumsi bahwa aku sedang berbicara dengan diriku sendiri, seperti biasanya.
Jadi, ketakutan itu pertama
kali aku rasakan di usia 9 tahun. Perasaan itu datang secara tiba-tiba, ketika
teman-teman sedang bermain ke rumah. Perasaan itu bertahan selama beberapa
hari, lalu lenyap begitu saja. Sejak saat itu, perasaan itu sering "kumat", paling tidak 1-2 kali setahun. Namun, biasanya tidak bertahan lama. Ia baru benar-benar menyerangku di usiaku yang
ke enam belas. Sama seperti dulu, ketakutan itu datang tiba-tiba, ketika aku
sedang berada di kelas. Perasaan yang familiar, tetapi tidak ingin kurasakan
lagi. Sialnya, perasaan itu tidak semerta-merta lenyap dan menguap, seperti
yang dulu ia lakukan. Ia menghantuiku, mengikutiku kemanapun. Saat itu, aku selalu
terjaga, tetapi itu bukan kemauanku. Aku ingin tidur, ingin sekali. Setidaknya
saat tidur, ia tak dapat menggangguku. Tetapi semakin aku ingin melarikan diri,
semakin ia melekat di otak ku. Aku lalu menemukan sendiri metodeku untuk tidur: ketiduran. Ketiduran tanpa merasakan kantuk sedikit pun. Saat bangun pun
rasanya lelah. Seperti tak pernah tidur. Durasi ketiduran itu berkisar antara 3-4 jam…
hanya itulah kesempatanku untuk tidur.
Sampai beberapa minggu
lamanya, aku masih berharap ia akan bosan dan pergi. Tapi tidak, tentu saja.
Setelah beberapa minggu, ketakutan itu menjadi semakin parah. Aku tidak bisa
menonton tv, tidak bisa belajar, tidak bisa mendengarkan musik. Aku bahkan tidak
bisa sendirian. Sekolahku dimulai pukul 6.45 sampai dengan
14.00, kemudian pulang ke rumah, lalu kembali ke sekolah pukul 18.00 dan
belajar sampai dengan pukul 21.00. Dari jadwal tersebut, aku harus sendirian di
rumah dari pukul 14.00 sampai 18.00.
Empat jam!! Empat jam adalah waktu yang
tidak singkat jika harus dihabiskan dengan berdiam diri dan ketakutan. Untungnya,
saat itu di sekolah sedang diadakan turnamen olahraga, yang dimulai pukul 15.00.
Aku merasa diselamatkan oleh turnamen tersebut. Aku hanya perlu pulang, ganti baju,
makan, lalu bersiap-siap sebentar untuk ke sekolah…berharap kebisingan akan
melindungiku dari ketakutan. Aku merasa seperti mayat. Bahkan kupikir, mayat
lebih beruntung, karena tidak bisa merasakan takut. Tidak bisa merasakan apa
pun. Hari-hariku terasa mencekam.
Sampai sekarang, aku tidak tau apa yang saat
itu membuatku takut. Aku takut ketika melihat langit di luar jendela. Takut
mendengar percakapan teman sekelasku. Takut melihat rerumputan yang ditiup
angin. Aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Aku kesepian. Aku merasa
seperti didorong untuk mati. Bunuh diri?.
Aku tidak tau lagi apakah ada cara lain
untuk kabur dari itu semua…
Orang-orang yang ada di sekitarku saat itu tidak akan
menyadari betapa kusutnya otak ku. Aku berusaha untuk bersikap biasa. Karena
jika diceritakan pun, kepada siapa? Dan apa sebenarnya yang harus kuceritakan? Aku
mencoba mencari orang lain dengan ketakutan yang sama di internet. Ada. Aku
menemukan mereka… yang mengaku menderita gangguan kecemasan. Tetapi, apa yang
dapat kulakukan?
Singkat cerita, aku
berusaha hidup dan mengakrabkan diri dengan ketakutan itu. Setelah setahun
kemudian, sepertinya usahaku berhasil. Sepertinya ia sudah bosan. Terkadang ia
datang, tetapi aku dapat menerima kunjungannya dengan baik. Meski begitu, aku belum sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Sampai saat ini, aku
selalu meyakinkan diri bahwa kejadian atau "serangan" waktu itu (4-6 tahun yang lalu) hanyalah sebuah fase. Tetapi
saat ini, aku bisa merasakan dia ada di dekatku… dan siap untuk menerkamku
kapan saja. Dia selalu menunggu saat-saat terlemahku. Dan sepertinya saat yang dia
tunggu-tunggu itu adalah saat ini. Aku mulai tidak bisa tidur tanpa ketiduran.
Aku mulai tidak bisa merasakan bahagia…
Tolong aku.
Hhmm...rumit: apa yang ditakuti tak teridentifikasi. dan sekarang malah takut akan rasa takut itu sendiri.
BalasHapusmungkin baik tak usah fokus ke perasaan takut itu. Kalau memang tidak bisa menghindari rasa itu, cobalah berani mengambil risiko kalau yang ditakutkan itu terjadi; apapun yang terjadi, terjadilah dan Indah siap menghadapinya.
ya pak.. I've been always in the state of trying, but thank you
Hapus